Sejarah kabupaten Tebo

Baca Juga


Kabupaten Tebo tidak terlepas dari sejarah Propinsi Jambi, karena Kabupaten Tebo termasuk wilayah administratif Propinsi Jambi.

Namun demikian karena sejarah adalah gambaran masa lalu, maka jangkauannya tidak hanya terbatas pada wilayah administratif, tapi bisa juga melewati batas-batas tertentu. Karena garis administratif baru itu tidak berlaku sama pada sejarah kebudayaan, sebab seluruh kebudayaan masyarakat Kabupaten Tebo adalah bagian dari kebudayaan Melayu, mulai dari masa pra sejarah hingga masa Hindu Budha.

Masa Prasejarah


Tidak banyak yang dapat diketahui tentang masa pra sejarah di Kabupaten Tebo. Tapi setidaknya dengan adanya pendapat yang menyatakan, bahwa 10.000 - 5.000 tahun SM, Ras Deutro Maleires (Melayu Muda) yang berasal dari pedalaman Tiongkok Selatan, telah menyebar ke Nusantara, di antaranya ke Sumatera.

Ras ini kemudian bermukim di daerah-daerah pantai dan daratan rendah. Dan bila kemudian dihubungkan dengan hasil penelitian Prof. Sartono (1978), yang menyatakan adanya Teluk Tebo dan Teluk Tembesi yang menjorok ke arah pedalaman mengapit Bukit Dua Belas. Sedang di Teluk Tebo bermuara Sungai Batanghari dan Batang Tabir beserta anak-anak sungainya, tentunya dapat dipahami, bahwa dalam kawasan Kabupaten Tebo sekarang ini, dulunya telah bermukim Ras Deutro Maleires (Melayu Muda), sebagai awal masa pra sejarah.

Masa Hindu Budha


Dalam sejarah Dinasti Sung (960-1280) dinyatakan bahwa ada sebuah kerajaan bernama Ho-lo-tan yang telah mengadakan hubungan diplomatik dengan Cina dan berturut-turut telah mengirim utusannya ke Cina pada tahun-tahun 420, 433, 434, 436, 437, dan 452. Kerajaan Ho-lo-tan tersebut terletak di She-po atau Tehu-po. Sedangkan She-po atau Tehu-po tersebut menurut Prof. Sartono (1978) yang juga diyakini oleh sejarawan Drs. Fachruddin Saudagar, adalah Muara Tebo sekarang ini.

Sementara itu menurut sejarawan H. Djunaidi T Noor, sekitar abad III-IV terdapat dua "kerajaan" atau "Kekuasaan" masing-masing Ho-lo-tan di She-po atau Tehu-po dan Sanfo-Shih di Muara Tembesi. Kemudian kerajaan Ho-lo-tan bergeser ke arah Timur dan berdirilah Ko-ying. Sementara itu Prof. Slamet Mulyono menyatakan, bahwa di muara Sungai Tebesi ada sebuah Kerajaan bernama Kuntala. Yang juga telah mengirin utusan ke negeri Cina pada tahun-tahun 441, 455,502, 519, 560, dan 563. Namun bagaimana kelanjutan kerajaan-kerajaan ini tidak begitu jelas. Hanya saja baik Prof. Slamet Mulyono, maupun H. Djunaidi T Noor, sependapat bahwa kemudian berdirilah kerajaan Melayu (Mo-le-yeu). Kerajaan Melayu ini menurut Prof. Slamet Mulyono berdampingan dengan kerajaan Sriwijaya di Sungai Musi. Sedangkan H. Djunaidi T Noor mematok tahun 644 sebagai tahun lahirnya kerajaan Melayu di DAS Batang Hari.

Namun tahun 692, menurut catatan pendeta Cina I'Sing, ketika ia pulang dari Nalanda (Idia) kenegerinya menyatakan, bahwa kerajaan Melayu sudah menjadi daerah taklukan kerajaan Sriwijaya. Namun demikian Kerajaan Melayu tersebut masih tetap ada, tetapi tidak dibenarkan mengadakan hubungan diplomatik dengan luar negeri, terutama Cina. Selanjutnya kerajaan Melayu tersebut telah berubah dan berganti nama Swarnabhumi, yang dalam berita-berita Cina Swarnabhumi ini disebut San Fo Si, dengan ibukotanya Chanpi (Jambi).

Dari laporan-laporan pengelana Cina yang bernama Chou Ku Fei dan Cu Pan Ci, hidup dimasa dinasti Ming, menyatakan bahwa Swarnabhumi merupakan salah satu negara terkaya, yang memiliki pergudangan untuk menyimpan barang-barang berharga, setara dengan Tashi (Arab) dan Sha-po (Jawa).

Walau kerajaan Melayu yang telah berganti nama Swarnabhumi itu telah bangkit dan semakin maju, tapi kecemasannya akan diserang atau dicaplok oleh kerajaan-kerajaan lain, seperti Sriwijaya dan Singosari dari Jawa Timur, tetap merupakan ancaman. Dan kecemasan itu menjadi kenyataan, pada tahun 1275 Swarnabhumi diserang oleh kerajaan Singosari di masa pemerintahan Abhiseka Sri Kertanegara.

Perintah penyerangan itu lebih dikenal dengan sebutan Pamalayu, yang artinya perang melawan Melayu. Di bawah pimpinan Panglima Perang yang bernama Mahisa Anabrang. Akan tetapi peperangan itu dapat ditiadakan, bahkan dapat diciptakan perdamaian. Bahkan Kerajaan Swarnabhumi tetap diakui sebagai kerajaan dengan rajanya Tribhuwana Mauliwarmadewa.

Setelah hampir 20 tahun tentara Singosari berada di kerajaan Swarnabhumi, barulah mereka kembali ke Singosari. Dan bersamaam dengan kepulangan tentara Singosari dibawah pimpinan Mahisa Anabrang, diboyong pula dua puteri raja Tribhuwana Mauliwarmadewa, yakni Dara Petak dan Dara Jingga. Kedua puteri Melayu (Swarnabhumi) ini diserahkan kepada raja Majapahit, yakni Kertarajasa Jayawardhana,yang sebelumnya telah menaklukkan Kerajaan Singosari.
Dari Petak menjadi isteri Raden Wijaya, sedangkan Dara Jingga menjadi isteri Mahisa Anabrang.
Dari perkawinan Dara Jingga dengan Mahisa Anabrang lahirlah seorang putra yang diberi nama Adityawarman. Adityawarman dibesarkan dan mendapat pendidikan di lingkungan Kerajaan Majapahit.

Setelah dewasa Adityawarman mendapat kepercayaan besar di Keraton Majapahit. Selain ikut sebagai panglima perang bersama Gajah Mada dalam memadamkan beberapa pemberontakan, di antaranya pemberontakan Sadeng, Adityawarma juga diangkat sebagai Wredha Tama, atau disebut juga Praudata Menteri, yang kira-kira sama artinya dengan Menteri Senior, dengan gelar Arya Dewaraja Pu Aditya. Selain itu Adityarwarman juga diutus ke negeri Cina pada tahun 1325 dan 1332 dalam rangka hubungan diplomatik antara Majapahit dan Cina. Dengan demikian Adityawarman menempati posisi penting dan terhormat dalam Kerajaan Majapahit.

Walau Adityawarman mendapat posisi penting dan terhormat di Kerajaan Majapahit, namun ia tidak mau menetap di Majapahit. Pada tahun 1343 ia kembali ke Darmasraya, ketempat kakeknya. Yang kemudian dinobatkan sebagai Raja Darmasraya pada tahun 1347 dengan gelar Udayatyawarman Pratapkramarajendra Mauliwarmadewa.

Dengan gelar yang demikian Adityawarman memaklumkan dirinya sebagai Maharaja dan merupakan tonggak sejarah baru dalam Kerajaan dan Kesultanan Melayu Jambi, serta meletakkan Kabupaten Tebo pada posisi strategis dalam perkembangan sejarah Kerajaan maupun Kesultanan Jambi berikutnya.

Sumber: budakjambiasaltebo
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda yang sesuai dengan pokok bahasan.

Diharap tidak menggunakan akun G+

Pendukung

Artikel Populer

 
Back to Top