Baca Juga
Perahu atau kapal terlahir sebagai jawaban atas tantangan alam perairan.
Pada prinsipnya jawaban atas tantangan alam perairan itu adalah segala sesuatu yang dibuat atau digunakan dapat dan mampu mengapung, mengangkut manusia dan
bawaannya, dapat dikendalikan ketempat yang dituju.
Benda seperti itu adalah rakit (kayu, bambu) perahu rakit, perahu (lesung, papan) dan sebagainya. Alat penggeraknya dayung atau galah (tongkat panjang dari bambu, kayu) kemudian berkembang dengan adanya kemampuan menempatkan angin melalui layar, setelah itu ke mesin.
Jejak kuno yang menunjukkan pengenalan masyarakat Jambi tentang perahu memang tidak atau belum diketemukan.
Temuan arkeologi atau sejarah lainnya dapat dikatakan sedikit sekali itupun sudah memasuki abad IV melalui informasi dari berita - berita Cina terhadap utusan - utusan Melayu Chan-pi, Suwarnabhumi atau San-fo- tsi, Temuan arkeologi terdekat adalah berlokasi di daerah Palembang. Prasasti Kedukan Bukit menoreh kata - kata Bahasa Melayu "Samwan" yang menurut sebagian ahli adalah kata - kata yang melukiskan kaitan nama atau alat transportasi air armada perang Sriwijaya di akhir abad ke tujuh (Coedes, 1930).
Di situs Bukit Jakas di Riau, ditemukan sisa- sisa perahu yang berasal dari abad 15 - 16 M. Perahu ini diduga mempunyai tiang layar tiga buah sebagai perahu dagang (Manguin 1989).
Situs Ujung Pelancu Suak Kandis di Lambur I Muara Sabak juga memendam pecahan atau serpihan kayu perahu/ kapal. Sampai saat ini bentuk sebenarnya belum dapat terakumulasi begitu juga pemikiran pembuatnya berasal dari dalam atau luar jambi dan milik siapa pedagang atau milik Kerajaan.
Tradisi pembangunan perahu diperkirakan sudah cukup lama, perjalanan Proto Melayu atau Detro Melayu dari daratan Asia ke daratan Nusantara diduga ada yang menggunakan sarana transportasi air ini.
Perahu jenis lesung (Dugout Canoe) atau perahu papan (Planked Boat) berbentuk pipih memanjang, pajang agak tambun, runcing di haluan dan pepak di buritan, bulat panjang, masih di jumpai di DAS dan sub - sub DAS Batang Hari.
Demikian juga penggunaannya pada masa - masa Kerjaan Melayu kuno. Dugaaan ini diperkuat oleh runutan titik - titik lokasi situs percandian di sepanjang DAS Batang Hari abad - abad VII - XIII atau sebelum itu seperti dalam berita Cina di abad IV - V yang menyebut kedatangan utusan - utusan dari Kuntala atau San Fo Tsi, Chan PI, Moloyu. Sayangnya torehan gambar perahu di batu bata Situs Candi Muara Jambi sangat sederhana sekali.
Informasinya kurang jelas dan lengkap atas garis gambar perahu seperti belahan semangka. Selebihnya tidak atau belum ditemukan goresan pendukung lainnya. Penjenisan perahu lesung atau perahu papan lebih kepada cara pembuatannya.
Dengan melihat lunasnya, bila sampan/ perahu tersebut terdiri dari satu batang kayu (pohon) yang dikeruk bagian dalamnya sehingga terlihat seperti lesung memanjang itulah sampan/ perahu lesung.
Pinggiran perahu ada yang seutuhnya dan ada juga yang ditinggikan dengan papan - papan untuk memperbesar kapasitas muatan atau untuk menghindarkan cipratan air kedalam perahu.
Oleh keterbatasan besaran pohon maka sampan/ perahu ini dianggap berukuran kecil atau terbatas.
Dari keterbatasan itulah mungkin yang mendorong pembuatan sampan/ perahu papan yang dibuat tidak tergantung pada sebatang pohon.
Untuk perahu papan ini banyak mempunyai sangga batang - batang kayu yang disebut gading - gading. Batang gading - gading inilah yang membentuk kerangka perahu dengan berbagai macam fariasi besarannya menurut kebutuhannya.
Bentuk dan ukuran perahu tergantung pada besaran dan banyaknya gading- gading yang di pakai. Perahu yang besar disebut sebagai kapal atau jung dan tongkang.
Pada perahu papan digunakan banyak pena (paku/ pasak) kayu untuk menyambung bilah - bilah papan perahu. Dengan perkembangan perlengkapan maka pena kayu kemudian diganti baut, skrup atau paku.
Celah - celah sambungan susunan papan diberi dempul atau ijuk, tali rami, kain dan ditutup dempul. Pada bagian haluan ada yang dimasukan "kayu berukir" beragam bentuk atau hanya lurusan saja. Kalau kayu itu berbentuk naga maka perahu itu disebut perahu naga. Perahu yang berkuran besar dikemudian hari tidak dari kayu tetapi dibuat dari lempengan baja sesuai dengan kebutuhannya.
Perahu - perahu atau sampan melaju diatas permukaan air dengan kekuatan dayung atau dengan galah. Dayung - dayung dapat dilakukan oleh seorang saja tapi bisa juga menggunakan bilah dayung yang diletakkan kiri kanan sampan/ perahu. Untuk perlombaan perahu atau lomba dayung maka pendayungnya lebih dari satu orang sesuai dengan kelas - kelas yang diperlombakan.
Dengan diketemukannya mesin maka kekuatan dayung dilakukan oleh mesin berbaling dalam atau berbaling luar. Perahu selain berfungsi sebagai alat transportasi, hampir di sebagian besar kota/ desa di pinggiran sungai dan anak - anak sungai Batang Hari, perahu juga digunakan untuk acara - acara seperti lomba perahu, perahu berhias atau perahu upacara yang disebut dengan "Kajang Lako" atau "Lancang Kuning" di wilayah di pesisir pantai timur Jambi.
Apa pengertian Kajang Lako sampai saat ini belum di sepakati, selain bahwa perahu Kajang Lako adalah perahu yang digunakan oleh Raja atau penguasa Negeri yang di iringi oleh pengawal dan rombongan lainnya untuk berleko - leko berarti santai, bersenang - senang, atau melakukan perjalanan inspeksi kedaerah - daerah bawahan.
Kata leko awalnya adalah lela (Melayu) yang mempunyai arti antara lain elok, gagah, kuat, gembira, bergaya, tampan menyegarkan badan.
Sebutan ini sesuai dengan bentuk perahu yang berhias elok, bergaya dengan beragam ornamen dan aksesoris.
Bangunan fisik perahu jelas kuat dan salah satu fungsinya adalah untuk media bersantai, bersenang sambil melakukan inspeksi kehulu atau kehilir sungai sebagai urat nadi transportasi. Kemudian kata lela atau leko ini mengalami perubahan bunyi menjadi leko, kajang berarti atap. Yang jelas, sampai saat ini sebutan perahu Kajang Lako adalah sejenis perahu berhias indah, beratap untuk berteduh atau duduk - duduk didalamnya yang umumnya tidak berdinding.
Keindahan terlihat dari ragam hias yang dikenakan pada atap kajang dengan ukiran resplang, kayu layar, tepian perahu. Kita belum tahu apakah haluannya diawal berupa hiasan kepala naga atau kepala itik besak (angso) seperti yang kita lihat sekarang.
Cerita - cerita lama belum ada yang menceritakan secara rinci bentuk detail dari haluan Kajang Lako tersebut. Profil naga atau angso lebih pada mewujudkan mitos naga atau legenda sepasang itik besar dalam kisah penemuan Tanah pilih oleh Orang Kayo Hitam setelah menyunting Putri Mayang Mangurai Putri Tumenggung Merah Mato penguasa Air Hitam Pauh.
Legenda ini juga dalam versi Tebo Ulu dilakukan oleh Putri Selaro Pinang Masak bersama suaminya Datuk Paduko Berhalo setelah mendapat restu dari orang tua Putri di Ranah Pagaruyung, menghilir ke Jambi dengan perahu Kajang Lako.
Legenda ini diperkirakan terjadi dimasa sekitar 1460 M untuk perjalanan Putri Selaro Pinang Masak dan dipenghujung abad ke-15 (Antara 1495 an M) oleh Orang Kayo Hitam. Gambaran adanya perahu kajang lako ini juga lebih jauh dapat kita ambil uraian Berita Cina dari Chu-Fan-Chi (1225 M) yang menulis bahwa ada tembok batu merah sepanjang beberapa puluh M mengelilingi Kota Suwarnabhumi.
Bila sang Raja keluar, ia akan naik perahu, badannya dibungkus dengan man-pu, duduk dibawah payung sutra dan dijaga oleh para penjaga yang memegang tombak emas. Membaca uraian ini kita tentu tidak serta merta menggambarkan perahu itu perahu biasa - biasa saja. Tentu kondisi perahu disesuaikan atau sepadan dengan kelengkapan sang Raja yang menggunakan "man-pu" dengan berpayung emas. Persepadanan itu antara lain seperti hiasan atau simbol - simbol yang memperlihatkan ciri - ciri Kerjaaan tentunya walau pengertian "man-pu" pembungkus badan Raja belum ada penjelasan apakah jubah, selempang atau pakaian kebesaran lainnya.
Dari temuan peninggalan perahu kuno di Ujung Pelancu, ternyata tinggalan perahu - perahu itu mirip dengan temuan di situs Samirejo Palembang yang tidak menggunakan paku tetapi penggunakan pasak kayu dan ijuk, seperti yang dinyatakan dari sumber Portugis pada awal abad ke - 16.
Dikatakan dalam bukti tertua tersebut bahwa perahu - perahu yang dimiliki oleh orang - orang Jawa dan Melayu biasa disebut dengan "Jung" yang berkapasitas mencapai 250 - 500 ton. Dari bentuk - bentuk tinggalan sisa - sisa perahu yang ditemukan di Ujung Pelancu dan sekitarnya, tampaknya perahu - perahu itu merupakan Jung yang lebih kecil dibandingkan dengan Jung - jung sekarang atau pada masa abad XV - XVI.
Namun tidak tertutup kemungkinan Kerajaan Jambi dimasa Melayu atau Suwarnabhumi atau Dharmasraya telah memiliki perahu - perahu Jung ukuran kecil, sedang dan besar baik yang dibuat sendiri atau di buat dari luar daerah Jambi.
Hal ini logis untuk suatu Kerajaan Maritim yang menguasai jalur pelayaran di Selat Malaka. Memang belum ada suatu temuan arkeologi yang utuh terhadap bentuk perahu kuno di sepanjang DAS Batang Hari. Namun demikian perjalanan perahu dalam kehidupan penduduk Jambi masih berlangsung sampai sekarang, baik sebagai alat transportasi, berdagang, mencari ikan, penyeberangan dan perlombaan dengan bentuk perahunya yang panjang, yang dapat dinaiki oleh puluhan orang.
Lomba - lomba seperti itu dilaksanakan pada perayaan 17-an atau pada perayaa hari besar lainnya.
Perahu - perahu juga dibuat untuk meletakkan sesaji di saat acara ritual Bukak Lubuk Larangan seperti di desa Batu Kerbau kecamatan Pelepat atau di desa Rantau Pandan Muaro Bungo. Bahkan pada kehidupan suku anak dalam, perahu juga sebagai perlambang pengantar arwah. Pada saat musim tanam, ada perahu - perahu usang yang di gunakan untuk menebar benih persemaian. Kalau diatarik garis pelayaran di masa Kerajaan Singosari dengan Pamalayu- nya atau di masa Kerajaan Majapahit seperti di gambarkan pada pahatan relief Candi Borobudur, maka tidak mustahil pelabuhan laut atau pelabuhan pedalaman Jambi/ Melayu pernah disinggahi atau memiliki perahu - perahu bercadik atau tidak bercadik.
Kontak dagang atau keagamaan dengan India, Cina atau Arab tidak mustahil dilakukan dengan jalur pelayaran menggunakan perahu/ kapal dalam berbagai bentuk dan kelaziman pada masa itu baikdalam bentuk dan konfigurasi ciri khas etnis kedaerahannya maupun besar kecilnya muatan dan asesoris keseimbangan dalam pelayaran yang jauh dan panjang antara abad VII - IX.
Pelayaran perdagangan dan keagamaan antara Indonesia, Cina, Thailand, Vietnam dan lain - lainnya, dapat dibuktikan dari adanya temuan arkeologi berupa keramik Cina maupun gambaran dalam bentuk jung seperti adanya berita I-Tsing maupun Gunadarma.
Sumber : BAB VI KHASANAH BUDAYA KELAUTAN PROVINSI JAMBI
Disusun: Drs.H.Junaidi.T.Noor, MM
Posting ulang dari blog lama saya: pelayangwap.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar Anda yang sesuai dengan pokok bahasan.
Diharap tidak menggunakan akun G+