Baca Juga
Kota Muara Tebo sering menjadi ibu kota kabupaten. Bahkan sebelum menjadi ibu kota Kabupaten Tebo. Tidak percaya ? Tengok saja kilasan sejarah dan beberapa produk hukum yang mengaturnya.
SAAT pemerintahan Raden Candra Negara (1690-1696) pernah menjadi ibu kota Kerajaan Jambi, tepatnya di Desa Mangun Jayo. Zaman penjajahan Belanda, menjadi pusat pemerintahan Onder Afdeeling selama 3,5 abad. Begitu pula saat penjajahan Jepang menjadi pusat pemerintahan Gun selama 3,5 tahun.
Bahkan, setelah kemerdekaan Indonesia, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1948 pernah menjadi ibu kota Kabupaten Jambi Ulu yang wilayahnya meliputi Sarolangun, Bangko, Muaro Bungo, dan Muaro Tebo.
Dua tahun berikutnya, Kabupaten Jambi Ulu berubah menjadi Merangin dengan wilayah yang tetap, dan Muaro Tebo tetap menjadi ibu kota. Hanya berlangsung selama 2,5 tahun, ibu kotanya pindah ke Sungai Emas Bangko.
Dan Muaro Tebo menjadi kawedanan. Saat itulah, kota yang dilewati Lintas Tengah Sumatera ini mulai pensiun menjadi ibu kota.
Kemudian UU Nomor 7 Tahun 1965 mengatur Kawedanan Tebo menjadi bagian dari Kabupaten Bungo Tebo.
Akhirnya dengan UU Nomor 54 Tahun 1999, Muara Tebo berhasil menjadi ibu kota Kabupaten Tebo, buah pemekaran dari Kabupaten Bungo Tebo.
Setelah hampir 35 tahun berdiam diri, sekarang Muaro Tebo harus berbenah lagi. Kota kecil dikelilingi hutan yang dulunya sepi, mulai dilengkapi berbagai sarana prasarana. Kompleks perkantoran "Seentak Galah Serengkung Dayung"
misalnya, dibangun diatas lahan 96 hektar. Kemudian rumah sakit, terminal, perumahan, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya.
Muaro Tebo memang sedang berbenah diri. Namun, jangan dianggap Kabupaten Tebo tidak memiliki sarana prasarana yang lengkap. Ada satu kecamatan yaitu Rimbo Bujang yang lebih dulu bersiap diri mendukung pemekaran Tebo. Kecamatan yang sekarang mekar menjadi Rimbo Ulu dan Rimbo Ilir ini sebelum pemekaran sudah melengkapi diri dengan sarana prasarana. Tahun 1999 misalnya, fasilitas perdagangan (pasar) di Rimbo Bujang berjumlah 18 buah, sedang di Tebo Tengah hanya 3 buah. Jumlah penduduknya pun memang lebih banyak dibandingkan kecamatan lokasi Muara Tebo itu.
Tanaman karetlah yang membuat Rimbo Bujang menjadi kecamatan maju. Pohon penghasil getah karet ini juga yang membawa pertanian, khususnya perkebunan sebagai basis ekonomi Kabupaten Tebo.
Tahun 2002, perkebunan memberi kontribusi Rp 166 miliar. Sebanyak 44 persen tenaga kerja secara turun-temurun mengandalkan hidupnya di perkebunan dan 45 persen dari luas wilayah berupa areal perkebunan.
Bekas transmigran Rimbo Bujang saat pertama kali datang ke lokasi tahun 1974-1975 mendapat jatah lahan 5 hektar tiap keluarga. Semua lahannya di tanami karet. Pengelolaannya diserahkan kepada perkebunan negara (PTPN VI) bekerja sama dengan Departemen Transmigrasi dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Trans. Bertahun-tahun mereka mengandalkan hidupnya dengan berkebun karet. Sampai akhirnya lahan itu sudah menjadi milik mereka dan sekarang kebun karet total dikelola oleh masyarakat.
Produksi getah karet Tebo pada 2002 mencapai 94.385 ton, meningkat 4,4 persen dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, luas tanamannya mengalami penurunan 1,5 persen. Rimbo Bujang, Rimbo Ulu, dan Rimbo Ilir punya peran dalam penurunan areal tanam karena sebagian beralih fungsi menjadi lahan kelapa sawit. Meski begitu, produksi getah karet tiga kecamatan tersebut menyumbang 37 persen bagian produksi getah karet.
Sayang, produksi yang melimpah bahkan terbesar di Provinsi Jambi tidak diikuti dengan keberadaan industri pengolahan karet. Selama ini, getah-getah karet dalam bentuk balok-balok cetakan diangkut ke Kabupaten Bungo, Kota Jambi dan Padang untuk diproses lebih lanjut.
Masa-masa kejayaan karet akan berakhir. Tanaman-tanaman karet yang umumnya sudah lebih dari 25 tahun, tidak produktif lagi untuk disadap. Program peremajaan karet di Kabupaten Tebo hampir tidak ada. Hasilnya petani-petani eks trans mulai melirik kelapa sawit sebagai tanaman pengganti. Sebenarnya, kelapa sawit bukan hal baru bagi kabupaten yang juga dilintasi Sungai Batang Hari ini. Pada lokasi transmigrasi lain di Tebo Ilir, Tebo Ulu, dan Sumay, kelapa sawit menjadi tanaman andalan.
Berbeda dengan karet, pengelolaan kelapa sawit melibatkan tiga pihak : masyarakat, negara, dan swasta dengan pola PIR dan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), yaitu PT Tebora. Perkebunan negara (PTPN VI) yang dulunya mengelola karet di Rimbo Bujang, sekarang ikut mengelola perkebunan kelapa sawit.
Namun saat ini untuk perkebunan karet dan sawit banyak masyarakat yang mengeluh karena semakin minimnya lahan. Sehingga masyarakat melalukan perambahan terhadap hutan yang merupakan tanah milik Negara. Sehingga kerap terjadi kerusuhan antara warga dengan perusahaan yang mendapat izin pengolahan lahan.
Fenomena alih fungsi areal tanam karet menjadi kelapa sawit ditanggapi pemerintah kabupaten (pemkab) secara positif. Dinas Perkebunan mendirikan kebun bibit sawit unggul bekerja sama dengan Balai Penelitian Bibit di Medan. Bibit-bibit tersebut diberikan kepada petani dengan harga yang disubsidi pemerintah.
Hasil produksinya tahun 2002 mencapai 48.541 ton. Meski belum bisa menyamai posisi Kabupaten Muaro Jambi dan Sarolangun sebagai sentra penghasil kelapa sawit Jambi. Selanjutnya tandan buah segar sawit dibawa ke industri pengolahan kelapa sawit di Batang Hari, Bungo, Sarolangun, dan Merangin karena belum ada industri pengolahan sawit.
Fungsi tata guna lahan lain yang ikut mendominasi bagian wilayah Tebo adalah hutan. Luas kawasannya yang mencapai 293.947 hektar terdiri atas hutan produksi tetap, produksi terbatas, lindung, dan konservasi. Meski luas arealnya hampir sama dengan areal perkebunan, tetapi kontribusinya tidak sama. Terbukti tahun 2002 hanya menyumbang Rp 68 miliar. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tebo tetap bergantung pada sektor ini, khususnya dari retribusi Izin Pemanfaatan Hasil Hutan (IPHH) yang memberi 75 persen bagian.
Tebo memang belum bisa berbuat banyak untuk mengelola potensi-potensi lain seperti pertanian tanaman pangan, perikanan, peternakan, pariwisata, dan industri. Namun, dalam realisasi anggaran 2002, sekitar 52 persen bagian pendapatannya digunakan untuk belanja pembangunan.
Begitu juga dengan sector pariwisata. Tebo banyak memiliki potesi wisata alam dan potensi wisata warisan budaya. Seperti danau sigombak di desa Jambu 30 KM dari Kota Muara Tebo. Kemudian beberapa candi peninggalan kerajaan hindu yang banyak ditemukan di beberapa daerah sepanjang aliran sungai batang hari. Tebo juga kaya akan ragam budaya lainnya. Namun budaya dan potensi wisata itu belum tergali dan malahan sebagian besar budaya masa lalu itu telah terabaikan oleh generasi sekarang.
Sumber: portalkecamatantebotengah
SAAT pemerintahan Raden Candra Negara (1690-1696) pernah menjadi ibu kota Kerajaan Jambi, tepatnya di Desa Mangun Jayo. Zaman penjajahan Belanda, menjadi pusat pemerintahan Onder Afdeeling selama 3,5 abad. Begitu pula saat penjajahan Jepang menjadi pusat pemerintahan Gun selama 3,5 tahun.
Bahkan, setelah kemerdekaan Indonesia, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1948 pernah menjadi ibu kota Kabupaten Jambi Ulu yang wilayahnya meliputi Sarolangun, Bangko, Muaro Bungo, dan Muaro Tebo.
Dua tahun berikutnya, Kabupaten Jambi Ulu berubah menjadi Merangin dengan wilayah yang tetap, dan Muaro Tebo tetap menjadi ibu kota. Hanya berlangsung selama 2,5 tahun, ibu kotanya pindah ke Sungai Emas Bangko.
Dan Muaro Tebo menjadi kawedanan. Saat itulah, kota yang dilewati Lintas Tengah Sumatera ini mulai pensiun menjadi ibu kota.
Kemudian UU Nomor 7 Tahun 1965 mengatur Kawedanan Tebo menjadi bagian dari Kabupaten Bungo Tebo.
Akhirnya dengan UU Nomor 54 Tahun 1999, Muara Tebo berhasil menjadi ibu kota Kabupaten Tebo, buah pemekaran dari Kabupaten Bungo Tebo.
Setelah hampir 35 tahun berdiam diri, sekarang Muaro Tebo harus berbenah lagi. Kota kecil dikelilingi hutan yang dulunya sepi, mulai dilengkapi berbagai sarana prasarana. Kompleks perkantoran "Seentak Galah Serengkung Dayung"
misalnya, dibangun diatas lahan 96 hektar. Kemudian rumah sakit, terminal, perumahan, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya.
Muaro Tebo memang sedang berbenah diri. Namun, jangan dianggap Kabupaten Tebo tidak memiliki sarana prasarana yang lengkap. Ada satu kecamatan yaitu Rimbo Bujang yang lebih dulu bersiap diri mendukung pemekaran Tebo. Kecamatan yang sekarang mekar menjadi Rimbo Ulu dan Rimbo Ilir ini sebelum pemekaran sudah melengkapi diri dengan sarana prasarana. Tahun 1999 misalnya, fasilitas perdagangan (pasar) di Rimbo Bujang berjumlah 18 buah, sedang di Tebo Tengah hanya 3 buah. Jumlah penduduknya pun memang lebih banyak dibandingkan kecamatan lokasi Muara Tebo itu.
Tanaman karetlah yang membuat Rimbo Bujang menjadi kecamatan maju. Pohon penghasil getah karet ini juga yang membawa pertanian, khususnya perkebunan sebagai basis ekonomi Kabupaten Tebo.
Tahun 2002, perkebunan memberi kontribusi Rp 166 miliar. Sebanyak 44 persen tenaga kerja secara turun-temurun mengandalkan hidupnya di perkebunan dan 45 persen dari luas wilayah berupa areal perkebunan.
Bekas transmigran Rimbo Bujang saat pertama kali datang ke lokasi tahun 1974-1975 mendapat jatah lahan 5 hektar tiap keluarga. Semua lahannya di tanami karet. Pengelolaannya diserahkan kepada perkebunan negara (PTPN VI) bekerja sama dengan Departemen Transmigrasi dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Trans. Bertahun-tahun mereka mengandalkan hidupnya dengan berkebun karet. Sampai akhirnya lahan itu sudah menjadi milik mereka dan sekarang kebun karet total dikelola oleh masyarakat.
Produksi getah karet Tebo pada 2002 mencapai 94.385 ton, meningkat 4,4 persen dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, luas tanamannya mengalami penurunan 1,5 persen. Rimbo Bujang, Rimbo Ulu, dan Rimbo Ilir punya peran dalam penurunan areal tanam karena sebagian beralih fungsi menjadi lahan kelapa sawit. Meski begitu, produksi getah karet tiga kecamatan tersebut menyumbang 37 persen bagian produksi getah karet.
Sayang, produksi yang melimpah bahkan terbesar di Provinsi Jambi tidak diikuti dengan keberadaan industri pengolahan karet. Selama ini, getah-getah karet dalam bentuk balok-balok cetakan diangkut ke Kabupaten Bungo, Kota Jambi dan Padang untuk diproses lebih lanjut.
Masa-masa kejayaan karet akan berakhir. Tanaman-tanaman karet yang umumnya sudah lebih dari 25 tahun, tidak produktif lagi untuk disadap. Program peremajaan karet di Kabupaten Tebo hampir tidak ada. Hasilnya petani-petani eks trans mulai melirik kelapa sawit sebagai tanaman pengganti. Sebenarnya, kelapa sawit bukan hal baru bagi kabupaten yang juga dilintasi Sungai Batang Hari ini. Pada lokasi transmigrasi lain di Tebo Ilir, Tebo Ulu, dan Sumay, kelapa sawit menjadi tanaman andalan.
Berbeda dengan karet, pengelolaan kelapa sawit melibatkan tiga pihak : masyarakat, negara, dan swasta dengan pola PIR dan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), yaitu PT Tebora. Perkebunan negara (PTPN VI) yang dulunya mengelola karet di Rimbo Bujang, sekarang ikut mengelola perkebunan kelapa sawit.
Namun saat ini untuk perkebunan karet dan sawit banyak masyarakat yang mengeluh karena semakin minimnya lahan. Sehingga masyarakat melalukan perambahan terhadap hutan yang merupakan tanah milik Negara. Sehingga kerap terjadi kerusuhan antara warga dengan perusahaan yang mendapat izin pengolahan lahan.
Fenomena alih fungsi areal tanam karet menjadi kelapa sawit ditanggapi pemerintah kabupaten (pemkab) secara positif. Dinas Perkebunan mendirikan kebun bibit sawit unggul bekerja sama dengan Balai Penelitian Bibit di Medan. Bibit-bibit tersebut diberikan kepada petani dengan harga yang disubsidi pemerintah.
Hasil produksinya tahun 2002 mencapai 48.541 ton. Meski belum bisa menyamai posisi Kabupaten Muaro Jambi dan Sarolangun sebagai sentra penghasil kelapa sawit Jambi. Selanjutnya tandan buah segar sawit dibawa ke industri pengolahan kelapa sawit di Batang Hari, Bungo, Sarolangun, dan Merangin karena belum ada industri pengolahan sawit.
Fungsi tata guna lahan lain yang ikut mendominasi bagian wilayah Tebo adalah hutan. Luas kawasannya yang mencapai 293.947 hektar terdiri atas hutan produksi tetap, produksi terbatas, lindung, dan konservasi. Meski luas arealnya hampir sama dengan areal perkebunan, tetapi kontribusinya tidak sama. Terbukti tahun 2002 hanya menyumbang Rp 68 miliar. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tebo tetap bergantung pada sektor ini, khususnya dari retribusi Izin Pemanfaatan Hasil Hutan (IPHH) yang memberi 75 persen bagian.
Tebo memang belum bisa berbuat banyak untuk mengelola potensi-potensi lain seperti pertanian tanaman pangan, perikanan, peternakan, pariwisata, dan industri. Namun, dalam realisasi anggaran 2002, sekitar 52 persen bagian pendapatannya digunakan untuk belanja pembangunan.
Begitu juga dengan sector pariwisata. Tebo banyak memiliki potesi wisata alam dan potensi wisata warisan budaya. Seperti danau sigombak di desa Jambu 30 KM dari Kota Muara Tebo. Kemudian beberapa candi peninggalan kerajaan hindu yang banyak ditemukan di beberapa daerah sepanjang aliran sungai batang hari. Tebo juga kaya akan ragam budaya lainnya. Namun budaya dan potensi wisata itu belum tergali dan malahan sebagian besar budaya masa lalu itu telah terabaikan oleh generasi sekarang.
Sumber: portalkecamatantebotengah
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar Anda yang sesuai dengan pokok bahasan.
Diharap tidak menggunakan akun G+